Burung Unta Grup Perpesanan
Senin, 7 April 2025 07:09 WIB
Ketenteraman semu di grup aplikasi perpesanan akibat menghindari obrolan serius tentang isu-isu politik, ekonomi, dan sosial. ***
“Bisakah yang kayak begini tidak usah diposting di sini.”
“Sebaiknya tidak berdiskusi tentang hal ini, ya.”
“Saran aja, yang seperti ini jangan diposting di sinilah. Grup ini ‘kan untuk silaturahmi.”
“Bla, bla, bla...dst.”
Dalam sepekan terakhir saya baca pesan-pesan serupa di berbagai grup WhatsApp yang kebetulan saya ada di dalamnya (tapi bukan karena saya secara tak sengaja ditambahkan seperti yang dialami Jeffrey Goldberg, Pemimpin Redaksi The Atlantic itu, ya). Postingan yang mengundang respons seperti itu macam-macam tapi memang tidak biasanya untuk grup-grup aplikasi perpesanan tersebut: ada yang memuat isu politik, agama, dan lain-lain, termasuk hoaks.
Selama ini saya hampir tak pernah ikut berkomentar. Di beberapa grup, hal ini saya lakukan karena saya adalah anggota “pupuk bawang”, yang tidak masuk hitungan--saya merasa tidak pas berada di suatu grup tapi tak bisa atau tak enak untuk keluar atau saya memang memilih lurking saja dan hanya sesekali memposting informasi atau membagikan dokumen yang saya anggap berguna.
Selain itu, saya juga melakukannya karena saya menahan diri walau, sebenarnya, untuk beberapa alasan yang akan saya uraikan di bawah, saya sangat berbeda pendapat. Menahan diri ini memang ada batasnya. Batas ini bisa berupa situasi politik, ekonomi, dan sosial yang menuntut siapa pun yang punya keprihatinan dan masih menggunakan pikirannya serta berempati untuk tidak berdiam diri.
Situasi itulah saat ini yang mau tak mau kita hadapi, yang timbul akibat pemerintahan baru yang menjalankan kebijakan yang bermasalah, dari aspek legalitas maupun konsekuensinya. Saya risau. Karena itu, saya jadi merasa perlu menuliskan apa yang saya pikirkan.
Mungkin tulisan ini nanti akan saya posting di grup-grup seperti yang saya sebut di muka; bisa jadi juga tidak. Tapi, yang jelas, ini adalah bentuk ikhtiar saya untuk tidak berdiam diri. Dan, lebih dari itu, ia juga merupakan ajakan untuk membuang jauh-jauh dalih “ini grup silaturahmi” dan lain-lain sebagai cara menutup diri sepenuhnya terhadap adanya ketidakberesan di tengah masyarakat kita--yakni penguasa yang semau-maunya, bercokolnya kesewenang-wenangan, dan meluasnya ketidakadilan--serta membentengi diri terhadap diskusi yang sehat.
Saya bisa memahami keberatan terhadap postingan yang berpotensi mengganggu “ketenteraman” grup. Masalahnya, yang terlihat dari pengamatan sejauh ini adalah kebanyakan keberatan itu, selain tidak terkait dengan postingan yang mengandung disinformasi, hoaks, atau fitnah, justru menimbulkan suasana tenteram yang palsu karena percakapan jadi digiring ke arah yang tidak menghargai kebebasan berpendapat (kecuali hanya pada topik-topik ringan dan malah cenderung remeh-temeh) dan semua anggota dipaksa berada dalam lingkungan sempit yang tercerabut dari lingkungan besar yang harus dihadapi sehari-hari di dunia nyata. Mungkin hal ini mengingatkan kita pada peribahasa “seperti katak dalam tempurung” walau penggambaran yang lebih tepat adalah frase “hidup dalam gelembung”.
Kenapa saya tak sependapat dengan keberatan atas postingan di luar hal-hal yang aman tapi mengukuhkan kondisi palsu itu? Konteks pendapat saya adalah, itu tadi, kita tidak hidup di dalam gelembung, yang terus-menerus hanya menggemakan atau membuat kita mendengar segala sesuatu yang menyetujui pendapat dan kepercayaan kita atau membuat kita nyaman karena tak ada potensi “konflik”.
Dalam berbagai hal yang problematik di tengah masyarakat, buat saya, mengelak untuk membicarakannya adalah hal terakhir yang mesti kita lakukan. Mengabaikannya bisa diibaratkan seperti burung unta yang memilih memasukkan kepalanya ke dalam tanah. Boleh jadi dengan begitu kita bisa merasa nyaman, kalau memang suasana hati ini yang mau didapat--bisa karena ogah terlibat perdebatan; bisa karena tak ingin “baper” karena ada di kubu penyebab problem itu. Tapi problem yang kita abaikan sama sekali tak serta-merta berlalu dengan cara itu.
Justru dengan membicarakannya, mendiskusikannya atau memperdebatkannya, kita jadi bisa membuka pikiran bagi pendapat yang berbeda, mendengar argumentasi dari orang yang berlainan pandangan, berendah hati karena menyadari kekeliruan atau mengetahui kebenaran dari pihak yang kita dukung, dan seterusnya. Kita jadi dewasa sebagai masyarakat. Tentu saja, syaratnya adalah percakapan itu harus dilakukan secara sehat, berargumentasi dengan isi (fakta, data, logika), bukan asal bunyi dan bahkan mencemooh atau menyerang lawan bicara (ad hominem).
Harus diakui, justru di situlah kelemahan pada sebagian besar dari masyarakat kita. Di situ pula masalah dari kebanyakan pemimpin kita, terutama dalam masa sepuluh tahun terakhir dan yang tampaknya bakal berlanjut--yang karenanya, pada era media sosial ini, mereka memilih menghindari kritik dengan memelihara pendengung (buzzer) untuk memukul siapa saja yang berseberangan pandangan secara terbuka di tataran publik.
Dengan watak para pemimpin yang seperti itu, ketidakmampuan sebagian besar dari masyarakat untuk berbeda pendapat, berpikir kritis, dan berdebat secara konstruktif jadi semacam berkah atau kondisi yang ideal. Para pemimpin yang ada di kekuasaan tak perlu bekerja keras untuk menepis kritik karena tidak akan banyak orang yang tersadarkan dari kekeliruannya lewat perdebatan.
Tentu saja, secara umum, yang rugi adalah masyarakat sebagai satu kesatuan. Maka, agar hal ini bisa dicegah, agar suara mayoritas dari masyarakat dapat berfungsi sebagaimana perkataan “lebih kencang ketimbang ledakan kanon”, memupuk kemampuan berpikir kritis serta mengasah kesanggupan berdiskusi dan berdebat secara waras perlu dinisiasikan, syukur-syukur bisa dijadikan gerakan.
Urgensi melakukan hal itu tak terkecuali di ranah grup perpesanan.

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
4 Pengikut

Yang Absen dari Opini Menteri Raja Juli
Kamis, 5 Juni 2025 23:34 WIB
Gowes Menyusuri Flores: Tersangkut Kopi Juria (#7)
Senin, 12 Mei 2025 14:11 WIBArtikel Terpopuler